Pencemaran Sungai Tidak Bisa ‘Dibarter’ dengan Sumur Bor

DIDUGA TERCEMAR: Kondisi sungai Mayayap yang diduga tercemar limbah nikel pada Januari 2021 lalu. Anggota DPRD Banggai menegaskan, pengrusakan lingkungan tidak bisa dibarter dengan kompensasi sumur bor. [Foto: Amad Labino For SultimNews]

BANGGAI, SultimNews.info- Irfan Milang melihat sendiri Sungai Mayayap berubah menjadi warna merah. Di musim hujan Januari 2021, Ia ke lokasi pengambilan material nikel yang dikelola PT Integra Mining Nusantara Indonesia bersama aparat Desa Mayayap dan Trans Mayayap.

“Setelah dikoordinasikan itu sudah ada penyampaian soal kompensasi sumur bor untuk air minum. Masing-masing 1 unit setiap desa,” kata Camat Bualemo itu.

Kompenisasi sumur bor itu yang kemudian tak bisa diterima Anggota DPRD Banggai, Syafrudin Husain. “Pencemaran lingkungan tidak bisa diganti dengan kompensasi sumur bor. Makanya harus dibuktikan dulu, apakah sungai Mayayap itu tercemar karena limbah nikel atau tidak,” tegas politikus PKB itu saat rapat dengar pendapat di kantor DPRD Banggai, Rabu (10/3).

Ia meminta instansi terkait memeriksa dan meneliti dugaan pencemaran akibat limbah nikel di sungai Mayayap, Kecamatan Bualemo tersebut. Sebab, bagi Kepala Desa Mayayap Imran Bilatu, sungai itu sumber kehidupan masyarakat.

Rapat dengar pendapat yang dipimpin Ketua Komisi 2 DPRD Banggai, Sukri Djalumang itu, terungkap bahwa instansi teknis sudah meninjau langsung PT Penta Dharma Karsa, PT Prima Dharma Karsa, dan PT Integra Mining Nusantara Indonesia (IMNI).

“Kewajiban kami pemantuan dan pengelolaan lingkungan hidup,” kata Kabid Tata Lingkunga DLH Banggai Hery A Matuges.

Bahkan lanjut dia, instansinya sudah meminta laporan lingkungan dari perusahaan per semester, tetapi hingga kini belum juga dimasukkan. “Supaya bisa dicek, sesuai dengan kenyataan tidak,” paparnya.

Perwakilan ketiga perusahaan mengklaim sudah mengelola lingkungan dengan baik, tetapi dibantah DLH. “Kalau sudah mengelola lingkungan, tapi belum dilaporkan berarti tidak ada,” tandas Hery.

Anggota Komisi 2 Ibrahim Darise mendorong penegakan hukum. “Harus disanksi. Kalau tidak melapor (dampak lingkungannya), harus dipidanakan. Ada aturan lingkungannya terkait pidana kerusakan lingkungan,” tegas Darise.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini heran Dinas Lingkungan Hidup tak melayangkan laporan. “Kok DLH takut. Masa tidak berani. Lapor ke bupati, kalau tidak digubris lagi lapor ke polisi supaya diproses hukum,” tandasnya.

Sama halnya dengan Darise, seorang perwakilan Front Gerak Bersatu juga menilai Dinas Lingkungan Hidup tumpul dalam penegakkan aturan. “DLH tidak berfungsi dan tidak tegas,” kata mahasiswa Untika Luwuk itu. (awi)